Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, sistem ekonomi kapitalisme mulai melancarkan cara baru untuk dapat mempercepat penguasaan sumber-sumber daya produktif yang ada diseluruh dunia. Sejak awal tahun 1990-an program ekonomi dunia baru bernama neoliberalisme digalakkan. Neoliberalisme ini merubah posisi dan peran negara dan modal yaitu negara tidak boleh lagi ikut campur ke dalam dunia pasar (proses ekonomi).
Sementara itu kewajiban negara adalah:
- Mencabut semua subsidi yang diberikan kepada rakyatnya,
- Mencabut peran negara dalam bidang-bidang produksi (swastanisasi)
- Mencabut perlindungan (proteksi) terhadap modal maupun pasar dalam negeri.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut (program neoliberalisme) maka kekuatan ekonomi besar memperkuat pengaruh melalui tekanan lembaga-lembaga multinasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO, juga tekanan langsung bilateral.
Negara - negara berkembang seperti Indonesia menjadi sasaran empuk dari program ini karena masih banyak sumber daya ekonomi Indonesia yang terbengkalai. Sumber daya itu dianggap masih bisa dikeruk oleh para pemilik modal besar. Dengan alasan pemerintah Indonesia sudah bertekuk lutut akibat jeratan utang yang selama ini diberikan baik oleh lembaga multinasional maupun negara-negara pusat modal tersebut.
Program neoliberalisme lain yang saat ini diterapkan adalah kebebasan perusahaan menyerap tenaga kerja, baik perusahaan-perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Demi keuntungan yang lebih besar maka para pemilik modal menerapkan hubungan kerja yang lebih fleksibel antara pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja. Hubungan kerja yang fleksibel memudahkan pengusaha untuk merekrut maupun memecat seorang pekerja dibanding harus mempekerjakan pekerja tetap. Mengupah pekerja tetap, membuat pemilik modal harus mengeluarkan biaya lebih untuk jaminan pensiun maupun pesangon.
Pada dasarnya kaum kapitalis (pemilik modal) telah berhasil membuat negara kita bertekuk lutut tak berdaya dengan jeratan hutang yang mencekik. Akibatnya rakyat kecil dijadikan ‘budak’ oleh kaum pemodal dengan legitimasi undang-undang ketenagakerjaan yang justru menyengsarakan rakyat. Salah satu Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13 tahun 2003, yaitu mengatur penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Istilah itu dikenal dengan sebutan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Melalui undang - undang tersebut para pemodal atau pengusaha dapat melepas tanggung jawab terhadap pekerja yang dikontraknya. Sementara pihak kedua atau penyedia jasa dapat dengan mudah merekrut dan memutus hubungan kerja sepihak sesuka hati tanpa memikirkan nasib pekerja. Rakyat Indonesia di sisi lain yang mempunyai cita-cita yang sama yakni terbebasnya dari sistem ini. Karena UUK ini pula pengusaha dapat mengebiri hak - hak pekerja mulai dari status kerja, upah, Jamsostek, hak berserikat, bahkan pengusaha dapat mengatur setiap helaan napas para pekerja atau buruhnya dengan sistem kontrak.
Akibat yang Ditimbulkan
Akibat dari sistem kontrak ini, pekerja apalagi keluarganya tidak akan punya masa depan yang cerah. Seorang pekerja kontrak harus berpikir seribu kali ketika ingin memiliki tempat tinggal walaupun dengan cara mencicil perumahan yang sederhana. Hal ini disebabkan hak pekerja sudah dibatasi yakni paling lama tiga tahun. Kenyataannya lama waktu mencicil rumah paling cepat lima belas tahun. Bagaimana mungkin dapat memiliki tempat tinggal dengan cara mencicil sedangkan melalui jual beli tunai jelas tak mampu. Dengan upah yang hanya cukup untuk makan satu bulan bahkan kurang, para pekerja kontrak outsourcing harus menyingkirkan harapannya untuk dapat menyekolahkan anak - anaknya sampai ke perguruan tinggi.
Setelah menelaah sistem kontrak, dapat disimpulkan bahwa pekerja Indonesia kini telah kembali ke jaman perbudakan. Semua hak pekerja direnggut bahkan hak kebebasan pekerja untuk berserikat dan berkumpul. Ironisnya dalam UU No. 21 Tahun 2000 pekerja seharusnya memiliki hak itu. Seorang pekerja kontrak akan berpikir ratusan kali ketika dia akan bergabung dengan serikat pekerja walaupun dia tahu bahwa berserikat adalah hak pekerja. Jika seorang pekerja kontrak berani berserikat maka pintu PHK terbuka lebar. Pihak pemodal bisa saja beralasan kontrak kerja sudah habis dan seribu alasan lainnya.
Malang benar nasib pekerja kontrak seakan menghadapi buah simalakama. Ketika bekerja maka pekerja akan diperlakuan seperti budak. Ketika berserikat dianggap pemberontak. Jika memilih tidak bekerja maka keluarga mereka akan terlantar.
Di sisi lain, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang (UU) tidak dilakukan dengan ketat dan terkesan tidak pernah dijalankan. Penyelewengan terhadap undang-undang yang pro terhadap pasar dan tidak berpihak pada buruh ini banyak sekali terjadi. Salah satu contoh kasus penyelewengan terhadap UU yang berlaku dialami oleh pekerja kontrak kereta api. Padahal dalam UU sudah sangat jelas bahwa pekerjaan yang boleh di serahkan sebagian pelaksanaannya kepada pihak lain adalah pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Tapi apa lacur yang terjadi di PT. KAI (persero), bagian tiket dan penjagaan pintu keluar masuk stasiun diserahkan ke perusahaan penyedia jasa lain. Hal ini jelas melanggar, tetapi dari pihak terkait dalam hal ini, Departemen Tenaga Kerja (Depnaker), terkesan melepas tanggung jawab.
Seharusnya Depnaker selaku pelaksana Undang - Undang Ketenagakerjaan tanggap dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka. Dalam hal ini kita sebagai rakyat kecil kembali mendapat sial atas kelakuan para pejabat pemerintahan yang terkesan masa bodoh dan tidak mau ambil pusing atas semua yang terjadi. Pihak yang harus bertanggung jawab atas situasi saat ini selain Depnaker adalah Serikat Pekerja yang tidak mau peduli. Lucunya bahkan ada Serikat Pekerja yang menjadi pengelola atau penyedia jasa pekerja (buruh) sebagai tangan kanan para pengusaha dan menutup - nutupi seakan - akan dia tidak tahu bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Undang - Undang.
Hanya ada satu tawaran untuk membebaskan pekerja kita dari satu sistem tidak berprikemanusiaan yaitu bersatu membangun organisasi atau serikat pekerja yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan kaum pekerja. Tinggalkan serikat pekerja/buruh gadungan yang hanya dipakai untuk mencari jabatan atau sebagai perpanjangan tangan pengusaha. Pekerja berusaha menjalin hubungan dengan organisasi - organisasi lain yang mempunyai cita - cita sama yakni terbebasnya dari sistem yang tidak berpihak terhadap rakyat Indonesia. Karena kita sebagai pekerja yakin bahwa nasib kaum pekerja tidak akan berubah tanpa ada niat dari pekerja itu sendiri untuk merubah nasibnya. Perubahan tentu takkan terjadi tanpa proses menuju perubahan.
referensi
Pupuh Saepulloh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar